Saturday, April 10, 2021

Flutter: UI Toolkit yang Membuat Hati Semakin Berdebar



Tulisan saya kali ini akan membahas tentang Flutter, sebuah UI Toolkit open source besutan Google yang membantu para developer untuk membuat aplikasi multiplatform (web, mobile, dan desktop) dan berjalan di sistem operasi yang beragam pula (Android, iOS, Windows, MacOS, Linux), dari codebase yang sama. Terdengar seru buat developer mobile yang suka dihadapkan dengan pertanyaan klien macam: "Bisa jalan di iOS ga?" (waddahe.. 😳). 

Tiga kunci yang ditawarkan oleh Flutter bagi para developer: Fast Development, Expressive & Flexible UI, dan Native Performance. Dengan fitur hot reload, developer cukup dimanjakan ketika harus berjibaku merevisi kode dan menampilkan pra-tayang (preview) dari aplikasi yang sedang dibangun. Developer tak perlu lagi pusing-pusing memulai aplikasi dari awal, jika hanya mengubah beberapa property dari tampilan UI seperti warna, layout dan hal kecil lainnya. I could say this Fast Development feature helps me so much. :) Ga perlu lagi ngabisin kopi ketika nungguin debug preview. ☕️😂

Widget-widget pada Flutter juga di-bundle dengan feel Material Design (Android) dan Cupertino ala iOS. Jadi ketika harus melakukan kompilasi di sistem operasi yang berbeda, tampilannya tidak terasa asing.

Awalnya Flutter memang ditujukan untuk membuat aplikasi Mobile. Namun sejak merilis versi 2 pada event Flutter Engage, Tim Flutter menyatakan Flutter for web sudah masuk versi stable, dan Flutter for Desktop akan menyusul kemudian sehingga menjadikan Flutter toolkit yang lengkap untuk membangun ekosistem aplikasi multiplatform baik di desktop yang berbasis windows, MacOS, maupun Linux khususnya Ubuntu. Di ranah mobile, Flutter memang sudah menyasar untuk dapat berjalan pada paltform Android dan iOS sejak awal kemunculannya.

Kesan saya pribadi setelah mempelajari Flutter adalah pertama, kemudahan adaptasi terhadap syntax-nya. Oh iya, Flutter menggunakan bahasa pemrograman Dart. Sebuah bahasa pemrograman berorientasi objek buatan Google yang didesain optimal untuk client development. Dengan syntax mirip bahasa C, Dart mendapat influence dari beberapa bahasa pemrograman lain seperti C, Java, hingga Kotlin. Selain itu, buat kamu yang suka iseng buat snippet code dan penasaran bagaimana tampilannya tapi ga bawa alat tempur pribadi, kamu bisa cek lewat dartpad.


Dengan berbagai kemudahan development di atas, Flutter tidak luput dari pro-kontra. Salah satu yang sering disebut adalah terbatasnya akses terhadap native API. Untuk mereka yang lebih banyak bergelut dengan low level API, Flutter mungkin bukan pilihan yang tepat. Bagaimana menurutmu?

No comments:

Post a Comment